Kamis, 26 Maret 2009
Lelaki Dua Perempuan
Ketika
istri pertamanya melahirkan anak kedua, lelaki itu diam-diam menggaet
perempuan lain. Menurut informasi, istri barunya itu nya seorang
pembantu. Serapat bagaimana pun kisah pernikahan tersebut ditutupi, tokh
akhirnya bocor juga. Melly, istri pertamanya tak
juga protes. Padahal, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 sudah
mengatur. Setiap lelaki yang hendak menikah lagi harus memperoleh
persetujuan istri pertama. Itu pun alasannya harus kuat. Misalnya, dalam
lima tahun berturut-turut tidak mampu memberikan anak. Tidak mampu memenuhi kebutuhan suami atau mengalami cacat permanen.
Melly
yang seorang guru sekolah dasar termasuk perempuan penyabar. Memang ada
riak kecil hingga nyaris minta pisah, tetapi mampu diatasi. Kalau pun
keduanya memilih hidup pisah, tokh tidak masalah. Melly punya pekerjaan
tetap, sebagai pegawai negeri. Anak yang dibiayainya pun baru dua. Memang ada suara, pihak keluarga lelakinya yang selalu mendorong Marlan agar menikah lagi. Tidak jelas apa alasannya.
Dimadu
membuat Melly hidup dalam ketenangan yang terpaksa. Pasrah. Nasi sudah
jadi bubur. Ibunya yang hidup dari pensiunan almarhum suaminya yang juga
guru dan meninggal tahun 1960-an, ikut memberi ketabahan menghadapi
hidup aaknya dimadu. Marlan membagi waktu secara adil buat
istri-istrinya. Biasa sehabis bekerja di perusahaan pengiriman barang,
dia datang istirahat siang di rumah Melly, meski pada malam harinya dia
memberi giliran buat Meta, istri keduanya. Begitulah rutinitas kehidupan Marlan dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Dua
keluarga tersebut hidup dalam kesibukannya masing-masing. Tidak ada
saling komunikasi. Bahkan, terkesan terjadi kubu-kubuan. Tak pernah
terjadi antara anak-anak dari Melly dan Meta saling berkunjung. Jelas tidak mungkin. Malah pernah anak sulung Meta
dipukul adik kandung Melly, lantaran menjenguk ayahnya di salah satu
rumah sakit. Anaknya juga tidak melawan. Mungkin juga tahu diri.
Pada
tahun 1990-an, Marlan sakit. Dia terkena penyakit tekanan darah tinggi.
Namun sesekali dia masih bisa masuk bekerja. Kalau sebelumnya, dia
masih bisa naik sepeda motor sendiri ke tempat kerjanya, setelah sakit
dia selalu dibonceng oleh anak-anaknya yang sudah besar.
Enam tahun silam, penyakitnya bertambah dan aneh. Parkinson. Mirip dengan penyakitnya Muhammad Ali, petinju legendaris berjuluk ‘’si mulut besar’ itu. Bedanya,
Muhammad Ali masih bisa ke mana-mana dan menggerak-gerakkan kepalan
tinjunya, Marlan justru tidak bisa. Kalau Muhammad Ali berbicara
megap-megap, Marlan justru masih mampu mengucapkan kalimat dengan benar,
meski sangat pelan. Diserang penyakit, Marlan mengandalkan pengobatan
alternatif. Ogah masuk rumah sakit. Bukan tak pernah dibujuk, tetapi
sesering itu dia menolaknya. Dia hanya terbaring di rumah. Makan dan
buang air berlangsung di tempat pembaringan. Beruntung saat dia tidak
mampu lagi bangun-bangun, Melly sudah memasuki pensiun sebagai guru. Jadi, dia punya banyak waktu untuk melayani keperluannya sekaligus merawatnya. Sesekali anak sulungnya bersama Meta, Tuti, memberanikan
diri datang menjenguk ayahnya yang terkapar di rumah istri pertamanya.
Melly, sabar saja menerima kedatangan anak tirinya. Mau diapa lagi. Tokh
Marlan, juga ayah dari mereka.
Sekitar Agustus 2006, Marlan anfal lagi. Badannya lemah sekali. Dia dilarikan di unit gawat darurat rumah sakit. Inilah
pertama kali dia berurusan dengan rumah sakit setelah anfal berat.
HB-nya langsung drop. Belasan botol cairan infus terpaksa mengalir
melalui nadinya dalam tiga minggu terbaring di rumah sakit. Kondisi
tubuhnya menurun drastis. Padahal, ketika dia masih sehat, badannya
cukup atletis.
Penyakit
itu, kata keluarganya, gara-gara pengaruh pola makan yang kurang
terawasi. Ketika sehat, makanan penuh kolestrol dia sikat saja. Padahal,
melihat kondisi postur badan, mestinya dia mengendalikan pola makannya.
Tetapi itu semua sudah terjadi.
Setelah
tiga minggu di rumah sakit, Marlan pulang ke rumah Melly. Kembali lagi
dia menjalani rutinitas keseharian seperti ketika sebelumnya tidak dapat
lagi menjalankan aktivitas. Tiga minggu di rumah sakit hanya mampu
mengembali kondisi tubuhnya dapat makan seperti semula. Soal buang air masih dilayani di tempat pembaringan. Makan pun disuapi.
Tanggal
24 Oktober 2006, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ketetapan
pemerintah. Suasana rumahnya sepi saja. Anak-anaknya sibuk melakukan
ziarah. Pada hari itu, kata salah seorang putrinya, sudah tujuh hari
perut Marlan tidak mau terima nasi. Siang hari selepas perayaan hari
Raya, Heni, adik kandung istrinya, datang berziarah. Heni tak menengok
Marlan yang terbaring di salah satu kamar lantai bawah rumah berlantai
dua tempat tinggalnya bersama Melly.
‘’Janganlah diganggu, mungkin lagi tidur,’’ kata Heni ketika mohon diri pada kakaknya.
Pukul
23.00 hari yang sama, telepon di rumah Heni berdering. Salah seorang
putri Marlan menyampaikan bahwa ayahnya dalam keadaan genting. Tak lama
kemudian menyusul telepon berikutnya. Dia sudah pergi. Berbarengan
hampir pergantian tanggal.
Keesokan
pagi, jalan di depan rumah keluarga padat oleh pelayat. Mulai dari
seluruh keluarga dan juga sahabat dari anak-anak Melly. Bersama Marlan, Melly dikaruniai 9 anak. Lima laki-laki empat perempuan. Sedangkan bersama Meta, juga sembilan. Seorang anak laki-lakinya meninggal dunia. Tinggal tujuh perempuan dan seorang laki-laki. Mereka sudah besar-besar.
Tanggal 25 Oktober 2006, hari yang sangat mengharukan. Dua keluarga besar berbaur menjadi satu. Tentu, tanpa kehadiran Meta. Mereka berbusana hitam pekat. Tujuh belas orang anak meratapi kepergian ayah mereka. Memberi penghormatan terakhir kali pada pertama kali pertemuan bersama mereka selama ini.
Kurang
30 menit pukul 12.00, jenazah ayah mereka siap dimandikan. Seorang
istri, tujuh belas anak berikut beberapa cucu mengerumuni tubuh yang
sudah kaku terbungkus kain batik. Sejenak, kain penutup wajahnya
disingkap. Anak kedua Melly tak mau lepas mencium wajah ayahnya. Lalu
yang lain. Mereka melingkari tubuh yang terbaring kaku itu secara
bersamaan. Inilah kesempatan terakhir mereka melihat wajah ayah mereka
sebelum dimandikan.
Dua
anak laki-laki dari dua istri mengangkat ayah mereka ke ruang lain
untuk dimandikan. Saudara-saudaranya hanya bisa mengantarnya dengan
tangis. Tujuh anak Meta saling berpelukan menangisi ayah mereka yang
lenyap di balik pintu kamar permandian di sayap kiri, bagian utara –
rumah. Suara isaknya melebur satu mengiringi
sosok jasad kaku itu diangkat ke kamar sebelah. Dua perempuan sepupu
sekali Melly yang selama ini sangat getol memrotes kehadiran Meta di
kelompok keluarga mereka, diam terpaku. Darah mendidihnya ingin melabrak anak-anak Meta tiba-tiba seperti beku. Bersandar di tembok, keduanya bagai boneka. Mata mereka menohok sekelompok anak-anak Meta yang meratap saling berpelukan. Sebuah fenomena kemanusiaan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kematian orang tercinta mempersatukan mereka menjadi sebuah keluarga besar. Sayang, Meta tak bergabung dalam seremoni perkabungan. Termasuk pada tiga hari malam takziah yang padat undangan di rumah duka. Padahal, mungkin saja dua perempuan itu akan rujuk
saja, menyusul anak-anak mereka bersatu mengantar kepergian lelaki yang
mereka cintai ke pemakaman. Toh, tak ada lagi yang diperebutkan. Lelaki
dua perempuan itu sudah pergi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar